Bisnis broker asuransi dan reasuransi merupakan pilar penting dalam industri jasa keuangan, berfungsi sebagai perantara yang memastikan risiko dapat dialihkan secara efisien. Namun, tanpa pengawasan ketat, potensi konflik kepentingan dan risiko pasar dapat merugikan konsumen dan stabilitas industri. Di Indonesia, peran sentral Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Regulasi OJK sangat krusial; OJK adalah lembaga independen yang bertanggung jawab penuh atas pengawasan dan pengaturan semua aktivitas di sektor jasa keuangan. Pengawasan yang ketat dari Regulasi OJK ini menjamin kompetensi profesional, kesehatan finansial perusahaan broker, dan, yang terpenting, perlindungan konsumen yang optimal. Memahami kerangka kerja Regulasi OJK adalah kunci untuk memahami bagaimana integritas bisnis broker dijaga.
1. Lisensi dan Kompetensi Profesional
Salah satu fungsi utama Regulasi OJK adalah memastikan bahwa hanya entitas yang memenuhi syarat yang dapat beroperasi sebagai broker. Persyaratan lisensi sangat ketat, mencakup minimalisasi modal disetor (misalnya, Perusahaan Broker Asuransi harus memiliki modal minimal Rp 3 miliar, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan OJK terbaru) dan kewajiban memiliki personel ahli bersertifikasi. Setiap direktur dan komisaris perusahaan broker harus lulus Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK) yang diselenggarakan oleh OJK. Selain itu, tenaga pemasar (broker) wajib memiliki sertifikasi profesi dari lembaga yang diakui OJK (seperti Certified Insurance Broker – CIB) dan harus memperbarui sertifikat tersebut setiap tiga tahun, biasanya melalui $25$ jam kredit pendidikan berkelanjutan (PPL/CPD). Kepatuhan ini menjamin bahwa nasihat yang diberikan kepada klien didasarkan pada pengetahuan dan etika profesional yang tinggi.
2. Pengendalian Risiko dan Keuangan
Regulasi OJK secara ketat mengawasi kesehatan finansial broker. Broker, meskipun tidak menanggung risiko, menangani premi klien dan harus memastikan bahwa dana tersebut ditransfer ke perusahaan asuransi dalam batas waktu yang ditentukan (misalnya, maksimal $30$ hari sejak premi diterima). OJK mewajibkan broker untuk memiliki Polis Asuransi Tanggung Jawab Profesi (Errors and Omissions/E&O Insurance) dengan batas minimum pertanggungan yang disesuaikan dengan volume bisnis mereka. Sebagai contoh, untuk broker reasuransi yang menangani risiko korporasi besar, batas E&O harus mencukupi untuk menutupi potensi kerugian klien akibat kelalaian broker, yang dapat mencapai puluhan miliar rupiah. OJK juga mewajibkan broker untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan kepatuhan triwulanan (setiap 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember) untuk meninjau kecukupan modal kerja mereka.
3. Perlindungan Konsumen dan Kepatuhan Etika
Fokus utama Regulasi OJK adalah memastikan broker bertindak sebagai fidusia (pihak yang mengutamakan kepentingan klien). Peraturan melarang broker menerima komisi ganda tanpa mengungkapkan informasi tersebut kepada klien. Ketika terjadi perselisihan klaim, OJK menyediakan saluran pengaduan resmi. Jika seorang klien merasa bahwa broker mereka gagal memberikan bantuan klaim yang memadai, mereka dapat mengajukan pengaduan resmi kepada Departemen Perlindungan Konsumen OJK. OJK dapat memerintahkan mediasi atau bahkan menjatuhkan sanksi administratif hingga pencabutan izin terhadap broker yang terbukti melanggar kode etik atau merugikan konsumen. Pada semester pertama tahun 2025, OJK telah mencabut izin operasional dua perusahaan broker kecil karena kegagalan memenuhi persyaratan modal minimum dan adanya keluhan konsumen terkait transfer premi yang terlambat. Intervensi OJK ini memastikan bahwa pasar broker tetap bersih, kompetitif, dan yang paling penting, tepercaya bagi masyarakat Indonesia.